PT KONTAK PERKASA SURABAYA - Sejak pertama kali bertemu dengan alien ketika ia masih kecil, Molly (Tessa Thompson dan Mandeiya Flory sebagai Molly kecil) terobsesi dengan organisasi yang mengurusi para alien di Bumi. Ia memiliki kecerdasan melebihi rata-rata. Dan physical skill dia juga tidak mengecewakan. Makanya dia memilih bekerja di tempat yang membosankan sebagai call service daripada tidak bekerja di organisasi yang ia idam-idamkan. Sampai akhirnya hari itu ia menyaksikan hal yang ia inginkan: alien di New York.
Dengan percaya diri Molly akhirnya mengikuti mobil-mobil para agen rahasia ini. Dan Molly pun akhirnya berhasil masuk ke dalam gedung Men In Black. Dan disanalah dia ditangkap. Walaupun tangannya terikat, Molly sungguh-sungguh bahagia. Dan ia akhirnya bertemu dengan Agen O (Emma Thompson, sungguh-sungguh memorable) dan cara dia berbicara dan bagaimana dia menjelaskan obsesinya dari kecil membuat Molly direkrut sebagai pegawai percobaan.
Sebagai pegawai percobaan, tugas pertama Molly yang sekarang menjadi Agen M adalah pergi ke London dan belajar dari sana. Dia kemudian bertemu dengan High T (Liam Neeson), pimpinan Men In Black cabang London. Dan dengan cepat Molly langsung tahu agen mana yang perlu ia dekati kalau dia ingin belajar menjadi agen panutan. Masuklah Agen H (Chris Hemsworth) dengan jas yang rapi, senyu lebar, rambut yang ditata dengan rapi dan attitude yang meneriakkan keren-tapi-approachable. Molly awalnya naksir tapi perasaan ini dengan cepat berubah menjadi misi serius ketika seorang alien bangsawan bernama Vungus diserang sesuatu. Molly dan Agen H pun langsung berusaha keras mengungkap apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Dirilis pada tahun 1997, film pertama Men In Black ternyata menjadi sebuah hit yang menyenangkan. Dengan bujet 90 juta dollar film ini ternyata menjadi bank yang menguntungkan bagi Sony karena ia menghantarkan hampir 600 juta dollar dari pendapatannya dari seluruh dunia. Resep juaranya tidak terbatas pada visualisasi alien yang mengagumkan pada saat itu tapi juga humor-humornya yang tidak biasa tapi justru menjadi daya pikat utama. Menyandingkan Will Smith yang mempunyai energi tak terhingga dengan Tommy Lee Jones yang kaku ternyata terbukti menjadi bumbu rahasia kenapa Men In Black terasa begitu fresh. Ini adalah buddy comedy yang tidak hanya menghibur dan seru tapi juga efektif dalam bercerita.
Seri keduanya kembali lima tahun kemudian dengan Barry Sonnenfeld masih menduduki kursi sutradara. Meskipun bujetnya naik tapi ternyata film ini kehilangan magisnya. Ada sesuatu yang kurang dari sekuelnya sehingga responnya dari baik penonton maupun kritikus tidak sepanas film sebelumnya. Itulah sebabnya sekuelnya tidak langsung diberi lampu hijau. Men In Black 3 baru hadir (tanpa diminta) sepuluh tahun setelah film keduanya rilis. Hasilnya? Lagi-lagi mengecewakan.
Boringnya Men In Black 3 adalah salah satu alasan kenapa serial ini mati secara perlahan. Pembuatnya seolah-olah tidak tahu bagaimana caranya membuat film ini menjadi fun dan entertaining. Padahal resepnya sudah ada. Dan sekali lagi, mereka mencoba mereka ulang keseruan itu lewat Men In Black International.
Hal yang patut dipuji di film ini adalah upaya Art Marcum dan Matt Holloway sebagai penulis skripnya (mereka menulis Iron Man pertama dan juga Transformers: The Last Knight) berusaha keras untuk menyuntikkan ide-ide segar kepada film ini. Kita dibawa ke dunia lain: jika trilogi awalnya ber-setting di New York, kali ini kita dibawa ke London, Paris, Naples dan Marrakesh. Jika sebelumnya kita hanya melihat dua cowok melawan alien, kali ini kita mendapatkan satu cowok dan satu cewek. #MeToo memberikan banyak kontribusi terhadap ini. Dan yang terakhir mereka memasang duo Chris Hemsworth dan Tessa Thompson di film ini. Dan melihat apa yang mereka lakukan dengan materi Taika Waititi di Thor: Ragnarok, terbukti bahwa duo Hemsworth-Thompson tak terkalahkan.
Tapi ternyata hasilnya tidak semenarik apa yang ada di atas kertas. Apa yang ditulis oleh penulis skenarionya begitu tidak memorable sehingga scene-scenenya berjalan apa adanya tanpa ada satu pun yang mengikat. Filmnya berjalan sendiri tanpa keterikatan penonton. Penonton tidak merasakan apapun yang terjadi kepada karakter-karakternya meskipun banyak hal terjadi pada karakter-karakternya.
Tidak hanya plot utama Men In Black International sangat tidak menarik tapi untuk ukuran film blockbuster, film ini juga kurang set pieces yang akan membuat penonton kesenangan saat menontonnya. Sutradara F. Gary Gray yang kemarin cukup mempesona dalam mempersembahkan seri terakhir Fast and Furious, ternyata tidak mampu memberikan adegan-adegan yang spektakuler. Yang paling bisa diingat mungkin cuman aksi karakter utamanya di Marrakesh. Selebihnya benar-benar hilang dari memori begitu Anda meninggalkan bioskop. Bahkan klimaksnya (lengkap dengan twist yang bisa Anda prediksi dari awal-awal) tidak memberikan kesan yang mendalam.
Untungnya film ini diketuai oleh Tessa Thompson dan Chris Hemsworth. Meskipun karakter mereka sangat tidak menantang dan sepertinya dirancang di sebuah laboratorium paling basic di Hollywood, mereka berdua mempunyai chemistry yang sangat bagus. Hemsworth dan Thompson membuat Men In Black International menjadi sebuah tontonan yang watchable. Memorable? Sama sekali tidak. Seolah-olah kita semua di-zap dengan cahaya putih itu dan hilang ingatan ketika end credits bergulir.
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.
PT KONTAK PERKASA
Baca juga artikel lainnya
1. Bitcoin ‘Bikin Sakit’, Lebih Baik Pilih Emas |
PT KONTAK PERKASA